Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dilahirkan di Yogyakarta, 21 April
1879. Ia adalah putra dari seorang penjaga sebuah toko kecil di
Yogyakarta bernama Ki Sutodrono dan ibunya adalah seorang wanita
berdarah Gorontalo. Meski bukan berasal dari kaum bangsawan, namun
semangat belajarnya sangat tinggi. Ia berhasil mengenyam pendidikan
hingga ke negeri Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika. Ia berhasil
memperoleh gelar dokternya di negeri Belanda pada usia 20 tahun.
Sedangkan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) ia peroleh dari
Kesultanan Yogyakarta karena jasanya bertugas di sebuah rumah sakit di
Yogyakarta pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Dr.
Radjiman Wedyodiningrat juga merupakan tokoh pergerakan nasional, meski
kiprahnya tak setenar Ir. Soekarno ataupun Bung Hatta. Ia merupakan
salah satu pendiri Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketua di tahun
1914-1915. Ia juga mewakili Boedi Oetomo menjadi anggota dalam Volksraad
bentukan Belanda sampai tahun 1931. Memiliki andil besar dalam usaha
mencapai kemerdekaan Indonesia dengan menjadi ketua Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Saat itu ia pernah menanyakan
tentang dasar negara Indonesia jika kelak telah merdeka dan dijawab
Bung Karno dengan uraiannya tentang pancasila. Uraian tersebut diyakini
pernah ditulis Radjiman Wedyodiningrat dalam sebuah pengantar penerbitan
buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan
Widodaren, Kabupaten Ngawi.
Dr.
Radjiman Wedyodiningrat mulai pindah ke Ngawi pada tahun 1934. Ia
memilih menetap di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi
karena keprihatinannya melihat warga Ngawi yang terserang penyakit pes.
Sejak saat itu ia mengabdikan dirinya menjadi dokter ahli penyakit pes. Selain
itu dr. Radjiman juga pernah memberdayakan dukun bayi di Ngawi untuk
mencegah kematian ibu saat melahirkan dan juga bayinya. Ia sangat peduli
terhadap kesehatan masyarakat, terutama mereka yang tidak mampu. Ia
juga dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Selain
menjadi dokter, dr. Radjiman Wedyodiningrat ternyata juga menyalurkan
ilmunya kepada mereka yang membutuhkan. Hal itu terbukti dengan sepak
terjangnya mengajar anak-anak di Dusun Dirgo yang tidak bisa mengenyam
pendidikan karena tidak adanya biaya. Lokasi tempatnya mengajar saat itu
telah dibangun sebuah Sekolah Dasar dan sampai kini masih terdapat
jejaknya, yaitu SD Negeri 3, 4, dan 5 Kauman.
No comments:
Post a Comment