Wednesday, February 27, 2013

Fatmawati, Sosok Panutan Ibu Indonesia

ni adalah bulannya Raden Ajeng Kartini. Seorang pahlawan wanita asal Jepara, Jawa Tengah yang menjadi symbol emansipasi wanita Indonesia. “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah karya nyata yang menjadi landasan bagi para wanita Indonesia untuk muncul ke permukaan bahwa kaum hawa kini dan di masa yang akan datang memiliki kesempatan sama dengan laki-laki dalam segala bidang, termasuk pemimpin. Namun, dalam tulisan ini saya tidak membahas tentang RA Kartini, melainkan sosok perempuan lainnya yang tak kalah bersejarah. Ibu Fatmawati namanya. Salah satu istri dari Presiden pertama Ir. Soekarno.
//rosodaras.files.wordpress.com/2009/08/fatmawati-pidato-1946.jpg?w=470&h=590)
Foto di atas, adalah koleksi majalah Life. Salah satu foto langka yang sarat makna. (http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/08/fatmawati-pidato-1946.jpg?w=470&h=590)
Sejak saya belajar sejarah di sekolah dasar hingga SMA, nama Fatmawati selalu menghiasi lukisan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Yang paling terkenal tentu adalah ketika beliau menjahit dengan tangannya sendiri bendera pusaka Merah Putih yang dikibarkan dalam upacara proklamasi di pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.
Fatmawati yang bernama asli Fatimah, lahir di Bengkulu pada tahun 1923 dan meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1980 dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
Fatmawati, usianya baru 19 tahun ketika disunting Bung Karno yang waktu itu 41 tahun. Fatmawati, putri Hasan Din yang asli Bengkulu, menjadi first lady yang menorehkan sejarah. Fatmawati, dinikahi Bung Karno pada era pendudukan Jepang dan mengikuti pasang dan surut perjuangan mencapai kemerdekaan. Dalam masa awal kemerdekaan, tak jarang Fatmawati yang memiliki penguasaan bagus dalam hal nilai-nilai keagamaan,didaulat bericara di atas podium. (foto atas).
http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/06/bung-karno-fatmawati1.jpg?w=228&h=300
http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/06/bung-karno-fatmawati1.jpg?w=228&h=300
Dalam masa berkabung pasca meninggalnya Bung Karno, Fatmawati, istri ketiga, yang pergi meninggalkan Istana setelah Bung Karno menikahi istri lainnya, Hartini. Fatmawati adalah sosok perempuan yang teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak akan datang ke Wisma Yaso, tempat persemayaman terakhir Bung Karno di Jakarta seperti yang dilakukan istri lainnya, Inggit Garnasih (istri kedua).  Karenanya, begitu mengetahui ayah dari lima putra-putrinya telah meninggal, ia segera memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah suaminya disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru, meski sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.
Hati Fatmawati benar-benar galau. Antara jerit hati ingin melihat wajah suami untuk terakhir kali, dengan keteguhan prinsip. Bahkan, putra-putrinya pun tidak ada yang bisa mempengaruhi keputusan Fatmawati untuk tetap tinggal di rumah. Meski, atas kesepakatan semua pihak, peti jenazah tidak ditutup hingga batas akhir jam 24.00, dengan harapan, Fatmawati datang pada detik-detik terakhir. Apa hendak dikata, Fatmawati tak juga tampak muka.
http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/10/bk-dan-fatmawati-bersepeda.jpg?w=296&h=300
http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/10/bk-dan-fatmawati-bersepeda.jpg?w=296&h=300
Pengganti kehadiran Fatmawati, adalah sebuah karangan bunga dari  si empunya nama. Dengan kalimat pendek dan puitis, Fatma menuliskan pesan, “Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta Fat”… Sungguh mendebarkan kalimat itu, bagi siapa pun yang membacanya.
Fatmawati, sosok ibu yang tidak pernah dibenci anak-anaknya. Dia mungkin tak sehebat dan sepopuler RA Kartini. Dia juga bukan termasuk pahlawan nasional. Namun, dialah sosok wanita tegar, wanita yang rela cintanya terbagi, wanita yang telah melahirkan sosok-sosok wanita super. Dan salah satu anaknya Megawati pernah menjadi pemimpin negeri ini.
Indonesia bangga memiliki Ibu Fatmawati, permaisuri “Raja” Indonesia bernama Bung Karno.

Teuku umar dan perjuamgannya

Teuku Umar

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya bernama Achmad Mahmud yang berasal dan keturunan Uleebalang Meulaboh. Nenek moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Nachudum Sakti. Salah seorang keturunan Datuk Nachudum Sakti pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasa Panglima keturunan Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu kemudian diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang kemudian mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. (Mardanas Safwan: 1981 : 34). Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang 6 Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhin. Ahmad Mahmud kawin dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu ia memperoleh dua orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak laki-lakinya, salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar dan Cut Nyak Dhien merupakan saudara sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau, darah seorang Datuk yang merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya. (Hazil, 1955 : 48).
Baik Umar maupun Cut Nyak Dhien pada masa kecilnya tidak pemah bertemu, mereka hanya mengenal nama masing-masing. Ketika masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat cerdas. Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan keunggulan di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala Kelompok anak-anak di kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawannya bermain. Setelah berumur 10 tahun, ia memisahkan diri dari kehidupan orang tuanya, mengembara di rimba Aceh dan bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari pengalaman hidup dan berguru. Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la pandai dan gemar bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam masyarakat.
Jiwa kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar baru berumur 19 tahun. la belum ikut pada perang ini, karena umurnya masih sangat muda dan jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu la sudah diangkat menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh. Ketika berumur 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. la semakin dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya, Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Mulai saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan Belanda (Mardanas Safwan, 1981 : 35).
Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah seperti pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke daerah lain dan berguru pada orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya. Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing (Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan. Orangorang yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi pasukan yang siap tempur.
Setelah Teuku lbrahim Lamnga gugur dalam perang melawan Belanda pada tahun 1878, istrinya (Cut Nyak Dhien) menjadi janda. Selama Cut Nyak Dhien menjanda, selalu mendapat perhatian khusus dari Teuku Umar. Yang menarik baginya bukanlah kecantikannya tetapi sifat keprajuritan yang ada dalam diri Cut Nyak Dhien. Ia mempunyai sifat keprajuritan, disiplin, dan keras hati, serta mencintai kemerdekaan Aceh. Wanita seperti Cut Nyak Dhien sangat tepat menjadi istri seorang pejuang. Dari sifat-sifat yang menarik hatinya itulah, diam-diam Teuku Umar jatuh cinta pada Cut Nyak Dhien. Seperti kata pepatah, “gayung bersambut” akhirnya cinta Umar dibalas dengan perasaan yang sama oleh Cut Nyak Dhien.
Pada waktu Ibrahim Lamnga masih hidup, Cut Nyak Dhien dengan setia membantu perjuangan suaminya. la sanggup berkorban apa saja demi perjuangan suaminya. Itulah yang menarik hati Teuku Umar. Setelah cintanya diterima dengan senang hati, Umar melamar Cut Nyak Dhien dan dalam tahun 1878 keduanya melangsungkan upacara perkawinan di Montasik. (H.M. Zainuddin et. al., 1972 : 4). Dengan demikian, Umar telah menikah untuk yang ketiga kalinya. Ketiga istrinya adalah sama-sama wanita bangsawan dan sama-sama keturunan Uleebalang. Dari perkawinan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien lahirlah anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir jauh dari kampung halamannya karena ia harus lahir di tempat pengungsian. Ketika itu ayahnya (Umar) sedang memimpin pertempuran melawan Belanda. Di tempat pengungsian Umar berjanji pada anaknya bahwa pada suatu saat nanti ia akan mengantarkan anak dan istrinya kembali ke rumahnya di Montasik, karena hak milik yang dikuasai Belanda ini harus direbut kembali. Dengan suara kecil ia berbisik pada anaknya, bahwa kalau seandainya engkau kembali ke daerah 6 Mukim, engkau akan menjadi Hulubalang 6 Mukim. Dengan tersenyum dan suara kecil Teuku Umar melanjutkan pula berkata kepada istrinya, bahwa engkau akan menuntut pula sebagai Panglima Sagie 26 Mukim apabila Panglima Sagi yang sekarang meninggal dunia. (Hazil, 1955 : 59).
Peranan Teuku Umar Pada Permulaan Perang
Pada tahun 1871 Inggris dan Belanda bertemu dalam Traktat Sumatera. Dalam Traktat tersebut disebutkan bahwa Belanda bebas bergerak dan mengadakan perluasan wilayah di Aceh. Rakyat Aceh marah mengetahui perjanjian tersebut. Kemarahan itu sebenarnya sudah lama terasa setelah melihat gelagat dan gerak-gerik Belanda di Sumatera yang merugikan Aceh telah terbaca sejak tahun 1857. Pada tahun itu Belanda menduduki Siak yang merupakan daerah taklukan Aceh. Setelah lahir Traktat Sumatra tahun 1871, rakyat Aceh semakin meluap-luap marahnya.
Pada tanggal 5 April 1873, Belanda dengan kekuatan 3000 orang tentara menyerang Kerajaan Aceh Darussalam dan berhasil menduduki Mesjid Raya Baiturrahman. Namun dapat direbut kembali oleh pejuang Aceh setelah Panglima tentara Belanda Mayor Jenderal JHR. Kohler ditembak mati oleh pejuang Aceh pada tanggal 14 April 1873. Dengan tewasnya JHR. Kohler, penyerbuan tidak diteruskan. Seluruh pasukan Belanda yang ada di Aceh akhirnya ditarik kembali. (Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 246).
Pada bulan Nopember tahun 1873 dikirimlah ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Van Swieten dengan tentara sebanyak 13.000 orang. Serbuan kali ini berhasil menduduki Mesjid Raya Baiturrahman. Sebelum Istana Raja oleh pasukan diserbu Belanda, Sultan dan seluruh penghuninya telah diungsikan. Dalam pengungsiannya, Sultan terserang penyakit kolera dan akhirnya meninggal. Para pengikutnya memindahkan tempat pengungsiannya sampai jauh ke pedalaman Aceh Besar. Dalam perangnya melawan gerilyawan Aceh, Belanda menggunakan strategi menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Hal ini terjadi juga dengan adanya raja-raja daerah pantai yang menyatakan tunduk pada Pemerintah Kolonial Belanda. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 387).
Waktu Jenderal Van Der Heiden menggantikan Jenderal Pel, mulailah diadakan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII. Panglima Polem terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Melihat tentara Aceh terus terdesak oleh ofensif pasukan Belanda, Teuku Umar mulai bekerja keras. la menghubungi para pemuda Aceh untuk diajak bersama-sama berjuang melawan Belanda. Umar juga menjelaskan pada para pemuda Aceh bahwa mempertahankan tanah air dan tanah tumpah darah dari serangan musuh adalah kewajiban setiap orang Aceh terhadap Tuhannya. Artinya, barang siapa yang tidak mau mengusir atau melawan penjajah, maka orang itu akan mendapat hukuman dari Tuhan, sebab tanah tumpah darah itu sebagai karunia Tuhan kepada manusia yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya dan dilarang orang menyerahkan kepada bangsa Asing. Milik Aceh adalah untuk rakyat Aceh. Demikian cara Teuku Umar menggugah semangat perjuangan para pemuda Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan cara demikian Teuku Umar berhasil merekrut sejumlah besar tentara pejuang yang berani mati.
Nama Teuku Umar mulai menjadi buah bibir dan terkenal di seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu juga memberikan latihan-latihan perang gerilya kepada calon-calon prajurit. la juga sibuk menghubungi para pemimpin rakyat lainnya untuk diajak berunding mengatur siasat perjuangan. Ia menentukan satu orang saja yang akan dijadikan pemimpin mereka dan kemudian menentukan pula waktu peperangan akan dilancarkan. Perundingan antara semua pemimpin perjuangan kemerdekaan itu sepakat untuk mengangkat Nanta Setia sebagai pemimpin tertinggi perjuangan kemerdekaan. (Achmad Effendi, 1975 : 28).
Perang akan dikobarkan di daerah 6 Mukim dalam tahun 1873. Teuku Umar yang waktu itu baru berumur 19 tahun, sebelum berangkat ke medan perang terlebih dahulu berpamitan pada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya meneteskan air mata haru bercampur bangga bahwa Teuku Umar telah berikrar bersama rakyat mengusir penjajah Belanda di Aceh dan berjuang sampai titik darah penghabisan. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).
Pada waktu perang berkobar, prajurit-prajurit Aceh sangat bersemangat, walaupun persenjataanya sangat sederhana dibandingkan dengan prajurit Belanda, namun mereka dapat mendatangkan korban yang besar di pihak lawan. Kesemua itu dapat terjadi karena antara lain disebabkan tentara Aceh mahir bertempur secara gerilya dan hidup di hutan belantara yang sudah mereka kuasai medannya. Berdasarkan pengalaman selama pertempuran itu Belanda kemudian menyadari bahwa untuk dapat mengalahkan tentara Aceh, maka harus memiliki kemahiran bertempur dihutan belantara dan mendatangkan bala bantuan dari Batavia lengkap dengan persenjataan serta perlengkapan perang lainnya. (Mawarti Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 427).
Setelah pasukannya diperkuat dan bala bantuan dari Batavia didatangkan, Belanda dapat menimbulkan korban yang lebih besar di pihak Aceh. (Achmad Effendi, 1975 : 34). Mulai saat itulah Aceh mengalami kekalahan besar, terlebih ketika Teuku Ibrahim Lamnga gugur terbunuh oleh tentara Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di daerah Gunung Param. (Ahmad Effendi, 1975 : 35). Jenasahnya dimakamkan di Montasik Aceh Besar. Seluruh tentara Aceh berkabung akibat kematian Teuku Ibrahim Lamnga itu.
Tetapi yang paling sedih adalah Nanta Setia dan Cut Nyak Dhien. Kekalahan tentara Aceh pada waktu itu menjadi perhatian Teuku Umar. la berfikir keras untuk mendapatkan pelajaran dari kekalahan itu bagi perjuangan tentara Aceh selanjutnya. Akhirnya Umar dapat mengetahui bahwa sumber utama kekalahan adalah di bidang persenjataan. Belanda dapat mengalahkan tentara Aceh karena Belanda memiliki senjata yang lebih baik dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang dimiliki tentara Aceh. Sehubungan dengan itu Teuku Umar kemudian menetapkan bahwa dalam peperangan mempertahakan kemerdekaan, maka rakyat dan tentara Aceh harus dapat merebut senjata dan perbekalan yang banyak dan tangan musuh, walaupun harus menghalalkan segala cara. Tetapi bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Itulah yang selalu menjadi bahan peikiran Teuku Umar setiap hari. Pada waktu diadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pejuang lainnya, Teuku Umar mengajukan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Cara itu kemudian mendapat persetujuan dari para pemimpin yang hadir la telah menentukan suatu siasat, tetapi siasat itu sifatnya sangat rahasia dan hanya pemimpin-pemimpin pejuang tertentu saja yang boleh tahu.
Teuku Umar Memimpin Perlawanan Dengan Berbagai Siasat
Pada tahun 1883 di Aceh terjadi suatu peristiwa yang sangat menggemparkan, yaitu berita mengenai Teuku Umar menyerahan diri dan memihak kepada Belanda. (Rusdi Sufi, 1994: 88). Rakyat Aceh marah dan banyak yang mengutuk sebagai pengkhianat diantara mereka ada pula yang menghendaki agar Teuku Umar dibunuh oleh rakyat sendiri. Sementara itu, Belanda sangat gembira menerima penyerahan diri Teuku Umar. Dengan menyerahnya Teuku Umar, Belanda berharap dapat dengan mudah menaklukkan seluruh rakyat Aceh. Setelah menyerahkan diri, maka Umar mendapat kepercayaan dari Belanda. Ia diserahi tugas yang penting-penting untuk melaksanakan keinginan Belanda menumpas perlawanan rakyat Aceh. Pada mulanya tugas yang diberikan kepada Teuku Umar adalah melatih tentara Belanda bertempur di hutan belantara dan mengajarkan teknik perang gerilya.
Teuku Umar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetapi di dalam hatinya ia memegang teguh siasat perang yang telah ditetapkan bersama dengan para pemimpin pejuang Aceh beberapa waktu sebelumnya. Selesai melatih perang gerilya di hutan belantara, Teuku Umar ditugaskan memimpin penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Dalam pertempuran itu memang banyak korban jatuh di kedua belah pihak, tetapi tentara Belanda banyak yang mati dan senjatanya banyak yang berhasil dirampas tentara Aceh. Tentara Aceh hanya sebentar saja mampu melawan serangan tentara Belanda dan kemudian mereka mundur meninggalkan benteng pertahanannya. Apalagi tentara Aceh hanya berpura-pura saja berperang melawan tentara Umar. Demikian juga sebaliknya Umar juga berpura-pura menyerang Aceh. Karena tidak tahu siasat Umar, Belanda gembira menyaksikan mundurnya tentara Aceh itu. Belanda menganggap dengan bantuan Umar, mereka dapat mematahkan seluruh perlawanan Aceh. Untuk itu, Umar mendapat hadiah besar berupa uang dan materi lainnya yang berguna untuk menambah modal perang tentara Aceh yang dikirim secara rahasia. Ketika sebuah kapal Inggris yang bernama “Nicero” terdampar dan dirampas oleh raja Teunom, kapten dan awak kapalnya disandera. Raja Teunom menuntut kepada pemilik kapal, bahwa sandera akan dibebaskan jika pemilik kapal sanggup menebusnya dengan uang tunai sebesar 10.000 dolar. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut. Pembebasan kapal milik Inggris ini harus dilakukan pihak Belanda karena perampasan kapal tersebut telah mengakibatkan ketegangan hubungan antara Inggris dengan Belanda.
Pada waktu menerima tugas tersebut Teuku Umar menyatakan bahwa merebut Kapal “Nicero” dari raja Teunom merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, wajarlah kalau Inggris sendiri tidak dapat merebut kembali kapal tersebut. Namun ia sendiri dengan pasukan Belanda yang dipimpinnya sanggup merebut kembali kapal itu asal ia diberi perbekalan dan persenjataan yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Setelah memperoleh perbekalan perang yang cukup banyak, berangkatlah Teuku Umar dengan kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa orang panglimanya. Beberapa waktu setelah upacara pemberangkatan tersebut, kalangan Belanda dikejutkan oleh sebuah berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ditugaskan untuk merebut kembali kapal “Nicero” telah dibunuh di tengah laut oleh Teuku Umar bersama anak buahnya. Seluruh senjata dan amunisi beserta perlengkapan perang lainnya dirampas. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).
Sejak saat itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Selain itu, Teuku Umar menyarankan Raja Teunom supaya jangan sekali-kali mau mengurangi tuntutannya. Kalangan Belanda menjadi goncang akibat siasat Teuku Umar itu. Belanda sangat marah terhadapnya. Sejak saat itu Pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan bahwa Belanda akan membayar upah senilai 25.000 dolar kepada siapa saja yang sanggup menculik Umar dan membawanya ke Banda Aceh hidup atau mati. Efek pengumuman ini di kalangan rakyat tidak ada sama sekali, karena memang tidak ada yang berani berbuat demikian sebab telah diperhitungkan tidak akan berhasil.(Moehammad Said, 1985 : 228).
Mengenai kapal “Nicero”, Belanda terpaksa menerima tuntutan Raja Teunom untuk membayar pembebasan sandera sebesar 10.000 dolar. Setelah menerima uang sebesar tuntutannya, maka pada tanggal 10 September 1884 Raja Teunom
menyerahkan 18 orang awak kapal “Nicero” yang masih hidup. la berbesar hati karena dapat menggegerkan negara-negara besar dengan peristiwa tersebut. (Moehammad Said, 1985: 229). Sementara itu Teuku Umar yang telah kembali ke pihak Aceh menerima sambutan hangat dari seluruh rakyat. Semua senjata hasil rampasan segera dibagi-bagikan kepada tentara Aceh. Sejak saat itu, Teuku Umar memimpin perlawanan rakyat menentang Belanda. Serangan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar berhasil dengan gemilang merebut daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Sejak saat itu Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang. (Achmad Effendi, 1975 : 43-44). Kemudian rumah Teuku Umar di Lampisang tersebut dijadikan markas besar bagi para pejuang kemerdekaan Aceh. Pada suatu pertemuan antara para pemipin pejuang di bawah pimpinan Teuku Umar dapat dicapai keputusan penting untuk memperkuat persenjataan. Untuk keperluan tersebut, tentara Aceh harus dapat merebut senjata Belanda dengan cara apa saja. Kendatipun juga harus diusahakan dengan mendatangkan senjata gelap dari para penyelundup yang sanggup menembus blokade di seputar perairan Aceh.
Mengingat penjagaan pantai seputar Aceh dan Selat Malaka yang dilakukan oleh kapalkapal perang Belanda tidak cukup banyak, maka perdagangan senjata gelap masih dapat lolos dari pengawasan. Dua tahun setelah peristiwa terjadinya kapal “Nicero” yang merupakan pukulan berat bagi Belanda, tentara Teuku Umar kembali membuat kegoncangan di kalangan Belanda. Pada saat-saat perang yang tidak menentu, ada petualang yang ingin menangguk di air keruh. Petualangan ini dilakukan oleh Kapten Hansen seorang warga negara Denmark yang membawa kapal “Hok Kanton”. Kapal ini dengan izin Belanda boleh mondar-mandir di perairan Aceh terutama antara Rigaih, Uleulheu dan Penang. (Moehammad Said, 1985 : 184).
Walaupun pengawasan Belanda ketat, tetapi Hansen pandai menyelundupkan senjata yang dipesan Aceh. Pada tanggal 12 Juni 1886, kapal “Hok Canton” berangkat ke Ruegaih. Turut pula sebagai penumpang Kapten Roura, katanya untuk mengambil kapal “The Eagle” yang kebetulan berlabuh di Ruegaih. Hansen sebenarnya hendak menjebak Umar untuk naik ke kapalnya di Pelabuhan Ruegaih, menculiknya untuk selanjutnya tanpa membayar lada yang bakal dimuat, mengangkutnya ke Uleulheu menyerahkannya kepada Belanda dan lalu menerima hadiah uang sebesar $ 25.000,-.
Setibanya di Reugaih tanggal 15 Juni 1886 Roura turun dan berjumpa dengan Umar melapor apa yang dipesankan kepadanya. Teuku Umar tidak percaya karena dia kenal betul siapa Roura dan siapa Hansen, keduanya saling konkurensi keras. Keduanya di mata Teuku Umar setali tiga wang, ringgit dan rupiah, bandit dan buaya. Dalam perundingan transaksi pembelian lada, Hansen mengemukakan bahwa pembayaran lada akan dilangsungkan di kapal setelah lada dimuat. Muncul rasa was-was dalam hati Teuku Umar. Setelah selesai pemuatan, Teaku Umar mengutus orangnya untuk menerima pembayaran, tetapi datang kabar dari kapal mengatakan bahwa Hansen ingin Teuku Umar datang sendiri. Sampai tiga kali utusan Teuku Umar itu mondarmandir di kapal, tetapi Hansen tetap teguh pada pendiriannya. Akhirnya Teuku Umar berkesimpulan bahwa Hansen memang beramaksud ingin menipunya. Malam itu juga Teuku Umar mengatur siasat untuk bertindak. Pagi dini hari seorang Panglima Teuku Umar bersama 40 orang prajuritnya telah menyusup ke kapal dan mengepung Hansen yang berada dalam kamar bersama istrinya. Hansen tidak tahu kalau sebenarnya dirinya sudah dikepung. Teuku Umar segera menemui Kapten Hansen menuntut pelunasan harga lada sebanyak $5.000,- sambil menandaskan bahwa setiap keingkaran akan ditindak. Namun Hansen ingkar janji sehingga terjadi perlawanan. Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Teuku Umar, tetapi Teuku Umar tahu apa yang akan dilaksanakan Hansen, sehingga Teuku Umar terlebih dahulu memberi isyarat pada anak buahnya untuk bertindak, sehingga terjadilah perlawanan atau perkelahian antara anak buah dengan anak buah Teuku Umar. Anak buah Hansen berhasil dilumpuhkan oleh 40 orang Prajurit Umar. Hansen sendiri berusaha melarikan diri dan akhirnya ditembak mati. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan 6 awak kapal Hok Canton dilepas. (Moehammad Said, 1985 : 185-196).
Berita penyanderaan ini rnenggegerkan Belanda dan merupakan pukulan keras bagi Pemerintah Kolonialnya. Tidak heran jika Belanda segera mengambil tindakan keras. Beberapa kapal perang Belanda dikirim ke Reugaih dan dipimpin sendiri oleh Gubernur Militer Jenderal Van Teijn untuk menghancurkan Ruegaih. Tetapi Teuku Umar mengirim peringatan bahwa perbuatan demikian akan sia-sia dan akan dibalas dengan hukuman mati bagi para tawanan Nyonya Hansen dan John Fay. Takut akan ancaman itu, Belanda tidak jadi membom Kampung Ruegaih, tetapi memerintahkan kapal-kapalnya pulang ke Uleulheu.
Teuku Umar memerintahkan kepada Panglimanya untuk membawa tawanannya ke pedalaman agar mereka tidak lari atau diculik. Nyonya Hansen diberi kesempatan menulis surat kepada Belanda bahwa ia dapat dilepas jika ditebus sebanyak $ 40.000, dengan ketentuan bahwa persoalan tidak berekor lagi. Setelah persoalannya berlarutlarut sampai 2 bulan, akhirnya tidak ada jalan lain kecuali menerima tuntutan Umar. Pada akhir bulan September 1886 perundingan selesai. Uang tebusan disepakati sebanyak $ 25.000,- diserahkan kepada Teuku Umar. Tanggal 6 Oktober 1886 Nyonya Hansen dan John Fay sudah berada di Banda Aceh.
Peristiwa kapal Hok Canton memang sudah selesai, tetapi menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda menjadi bertindak sangat hati-hati dan selalu waspada dalam menghadapi perlawanan Aceh. Kekuatan Teuku Umar harus diperhitungkan oleh Belanda sebab kekuatannya sudah sangat besar dan menimbulkan banyak kerugian bagi Belanda. Pengaruh pribadi Teuku Umar terhadap seluruh rakyatnya sangat besar, kunci kekalahan dan kemenangan rakyat Aceh menurut Belanda sepenuhnya berada ditangan Teuku Umar. Belanda mulai memikirkan cara baru untuk menundukkan rakyat Aceh. Penumpasan perlawanan rakyat dengan jalan kekerasan dianggap tidak efisien. Jalan yang ditempuhnya itu sering kali berbeda pendapat antara penguasa setempat dengan Batavia. Pada umumnya ada kecenderungan menunggu dan defensif, tidak lain karena perang telah makan banyak biaya.
Sejak tahun 1890, Snouck Hoergronje mempelajari masyarakat Aceh. Berdasarkan studi itu, Snouck Hoergronje memberikan saran-saran kepada Pemerintah Belanda agar menggempur semua pemimpin Aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 389). Strategi ini didasarkan pada kesimpulan bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam secara murni dan dipengaruhi oleh fanatisme ajaran agama yang menyatakan bahwa perang sabil melawan kaum kafir itu mutlak perlu. Saran dari Snouck Hoergronje ini berhasil menekan perjuangan rakyat setelah strategi itu benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Panglima Polem gugur dalam pertempuran. Namun perlawanan tak Pernah berakhir, Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pusing. Biaya perang membengkak menjadi $ 135.000.000,-. Untuk mengatasi ini Pemerintah di Istana Buitenzorg mengangkat Deykerhooff menjadi Gubernur Militer di Aceh untuk mengamankan daerah yang sulit ditundukkan itu. Setelah menjadi Gubernur di Aceh Deykerhooff berusaha untuk mendekati kaum bangsawan dan Uleebalang karena mereka dipandang sebagai pemberi dana perang kepada tentara Aceh. Siasat ini berhasil mendorong Teuku Umar berubah pendapat untuk berpihak kepada Belanda. Justru setelah adanya maklumat Pemerintah di Batavia yang akan mengampuni dan memberi hadiah besar kepada Teuku Umar jika ia mau menyerahkan diri dan membantu Belanda.
Di lain pihak Teuku Umar sendiri merasa bahwa pertempuran ini dianggap sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, Teuku Umar berpendapat bahwa untuk memperbaiki nasib rakyat yang sangat menderita agar dapat bekerja sebagaimana biasanya dan para petani dapat ke sawah lagi mengerjakan sawah ladangnya, maka Teuku Umar perlu merubah taktik dengan cara menyerahkan diri kepada Belanda. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Banda Aceh bersama dengan 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan dari Gubernur Aceh tersebut. Setelah bersumpah setia Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal seorang Panglima Besar serta dilengkapi dengan 2 buah meriam kecil di halaman depan rumah. Sejak saat itu, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas di dadanya. (Hazil, 1955 : 97).
Tugas-tugas yang harus dikerjakan yaitu menumpas perlawanan rakyat dan mengamankan seluruh daerah Aceh. Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan saja dengan mengorbankan kepentingan bangsanya. Sering terjadi percekcokan antara Umar dan istrinya Cut Nyak Dhien. Untuk menghindari percekcokan itu Teuku Umar selalu menghindarkan diri dari gugatan istrinya sehingga membuat Cut Nyak Dhien menjadi heran dan tidak mengerti sikap suaminya yang demikian itu. Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan sangat menyenangkan. Setiap ada panggilan dari Gubemur Belanda di Banda Aceh ia selalu menemui dengan segera dan memberikan laporan yang memuaskan kepada Belanda, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda. Kepercayaan dan penghargaan Belanda itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Teuku Umar untuk mencapai maksudnya sendiri demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat yang dipimpin Teuku Mat Amin. Anggota pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Setelah mendapat kepercayaan, Teuku Urnar diberi tugas oleh Belanda untuk mengamankan seluruh Aceh Besar. Untuk langkah pertama harus diamankan daerah 26 Mukim. Teuku Umar dapat mengamankan daerah tersebut dengan baik sehingga kepercayaan gubernur menjadi semakin besar. Hal ini menimbulkan rasa iri hati dari tokoh-tokoh yang lebih dulu bekerjasama dengan Belanda, seperti misalnya Teuku Nek Meuraxa dan Panglima Tibang. Di samping itu, tokoh-tokoh perwira Belanda sendiri banyak yang tidak senang melihat Teuku Umar mendapat kepercayaan dari atasannya. (H.M. Zainuddin, 1972: 6).
Sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial. (Anonim, 1995 : 74). Pada suatu hari di Lampisang Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadari pemimpin-pemimpin pejuag Aceh yang akan membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Pada huri itu Cut Nyak Dhien baru mengetahui dengan pasti bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda pada waktu memihak Belanda secara diam-diam oleh Teuku Umar dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangannya dalam perang melawan Belanda.
Pada tanggal 30 September 1896, Teuku Umar dengan seluruh pasukannya meninggalkan Belanda untuk selama-lamanya dengan membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg mesiu, 5 ton timah, $ 18.000,- uang tunai dan lain-lain alat militer yang berharga. Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Beianda. Dan hal ini sudah diduga oleh Snouck Hoergronje. la berpendapat Teuku Umar tidak pernah melepaskan sikapnya memusuhi Belanda. Apabila Gubernur menaruh kepercayaan besar kepada Umar, itu menandakan kebodohan Deyker Hooff dan kelicikan Teuku Umar. (H.C. Zentgraaff, 1982 : 257). Teuku Umar tidak memihak kepada Belanda, tetapi ia menjalankan taktiknya yang ternyata berhasil baik. Setelah mengalami kegagalan total politik damai mulai ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Deykerhooff yang bertanggungjawab atas larinya Teuku Umar dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. (Hazil, 1955: 115-119). Jenderal Vetter mendapat tugas untuk memerangi Teuku Umar. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa dengan 3 buah kapal perang yang kemudian dihimpun di Uleulheu. Menurut Jenderal Vetter, Teuku Umar harus diberi hukuman yang berat karena sangat merugikan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara yang sulit dipahami. (T. Syahbuddin Razi, 1976. 163).
Sementara Belanda sibuk mempersiapkan diri, Teuku Umar tidak tinggal diam. Ia menyusun kembali tentara Aceh yang cerai berai. Seluruh komando dari perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot. Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Barulah pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando, yaitu di bawah komando Teuku Umar. Teuku Umar mengerti bahwa ia harus berjuang mati-matian melawan Van Heutsz, musuh lamanya. Dalam maklumatnya Jenderal Vetter mengatakan bahwa Belanda hanya memerangi Teuku Umar dan bukan rakyat 4 Mukim dan 6 Mukim. Semua benteng yang didirikan dulu untuk Gubernemen, seperti Aneuk Galong, Seunelop, Lamkunyit, Bilul, Cot Rang dan Krueng Gelumpang diledakkan dan ditinggalkan oleh Belanda.
Sejak memulai perang, Vetter mengajukan tuntutannya kepada Umar. Ultimatumnya meminta segala senjata harus diserahkan kembali kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu, maka pada tangga 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Panglima Perang Besar dan Gubernemen Hindia Belanda dan sebagai Hulubalang Leupong. Ultimatum Jenderal Vetter dan ancaman Van Heutsz dibalas Teuku Umar dengan serbuan gencar sehingga perang berkobar lagi. Mengingat kekuatan Belanda lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya, maka barisan Aceh semakin menipis karena banyak yang gugur dalam pertempuran. Dalam pada itu, Belanda terus menciptakan perangkap untuk menangkap Teuku Umar. Namun usaha Belanda tersebut selalu gagal karena Teuku Umar juga ahli dalam siasat perang. Melihat kelicinan dan kehebatan Teuku Umar, maka Gubernur Belanda di Aceh Van Vliet melaporkan kepada Pemerintahnya sebagai berikut: Meskipun Belanda bertindak terus menerus pihak Aceh tetap memberikan perlawanan, Belanda belum dapat menguasai pemberontakan ini, malah api pemberontakan tetap berkobar. Teuku Umar terus memberikan perlawanan yang sengit dan Leupong, dan usaha untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati gagal sama sekali. (Hazil, 1955 : 129).
Laporan Van Vliet ini memang sesuai dengan kenyataan karena biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak sesuai dengan hasil yang dicapai. Berdasarkan hasil penyelidikan intelijen pada awal tahun 1897, Belanda mengetahui keberadaan Teuku Umar dan pasukannya di Loong. Dan segera dikirim pasukan Belanda ke sana untuk menangkapnya. Ketika sampai di tempat yang dituju, pasukan Umar telah menghindarkan diri ke lereng bukit dan menembaki pasukan Belanda dari tempat itu. Tentara Belanda berusaha untuk merebut lereng bukit itu, tetapi tidak berhasil. Sewaktu akan mundur, tentara Belanda kembali dihadang oleh pasukan Aceh. Di beberapa tempat dipasangi ranjau sehingga banyak meriam Belanda yang jatuh ke dalam lubang perangkap sehingga tentara Belanda banyak yang tewas dan senjatanya dapat dirampas.
Walaupun akhirnya Loong ditinggalkan juga oleh pasukan Teuku Umar, tetapi korban di pihak Belanda cukup besar. Pada tahun 1898 Teuku Umar sebagai pimpinan perang Aceh membuat rencana peperangan di Pedir. Secara garis besar rencana itu sebagai berikut :
1. Perang besar sedapat mungkin dihindarkan dengan tentara Belanda.
2. Laskar akan bergerak di seluruh barat dan barat daya Aceh.
3. Tempat yang ditinggalkan Belanda harus diduduki dan dikuasai untuk mengganggu dan melawan Belanda.
4. Perlawanan dilakukan secara gerilya dan memukul musuh dalam keadaan mereka lengah.
Gerakan Teuku Umar dalam memimpin pasukan sangat cepat dan ia tak dapat ditakuti meriam-meriam Belanda yang dibawanya karena Umar dengan mudah dapat mundur ke daerah pegunungan yang berhutan lebat. Dengan demikian, Teuku Umar dengan pasukan Belanda main sembunyi-sembunyian dalam permainan dengan maut. Pada saat yang genting Umar selalu mendapatkan bantuan dari istrinya Cut Nyak Dhien dan pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka merintis jalan di hutan yang jarang dilalui manusia. Demi keselamatan prajuritnya, Teuku Umar melarang anak buahnya mempergunakan api dan senapan agar tidak kelihatan oleh musuh. (Hazil, 1955: 135).
Pada bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh dengan tanpa pengawalan yang ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui oleh Teuku Umar dari mata-matanya yang bertugas di sana. Untuk menangkap dan mencegat Jenderal Belanda tersebut, Teuku Umar bersama sejumlah pasukannya datang ke Meulaboh. Tetapi malang bagi Umar karena sebelum rencananya berhasil dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah diketahui oleh Belanda Setelah mendengar laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, Jenderal Van Heutsz segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan kota Meulaboh untuk mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya telah berada di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui pasukan Van Heutsz telah mencegatnya. Posisi pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur.
Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. (Muhammad Ibrahim et.al., 1991 : 121). Seorang tangan kanannya yang sangat setia bernama Pang Laot begitu melihat Teuku Umar rebah terkena tembakan peluru Belanda segera melarikan jenazah Teuku Umar agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Justru dengan gugurnya suaminya tersebut Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Untuk itu ia kemudian mengambil alih pimpinan perlawanan yang tadinya dipegang oleh suaminya.

Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin

Nusantara kita terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah. Diantara pulau-pulau itu, ada sebuah pulau yang bentuknya menyerupai huruf K. Pulau itu tidak lain adalah Pulau Sulawesi. Dahulu, pada abad ke-15 sampai abad ke-17, di bagian pulau sulawesi terletak sebuah kerajaan yang besar dan disegani bernama kerajaan gowa. Menurut catatan para ahli, kerajaan gowa ini didirikan pada sekitar tahun 1300 Masehi dan dikenal serta disegani oleh bangsa Eropa kerena kebesaran dan kekuatan armada perangnnya. Salah satu raja yang memerintah kerajaan gowa itu adalah I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Ballapangkana (yang meninggal di istananya yang indah). Beliau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur". Raja Gowa ke-16 yang memerintah kerajaan gowa tahun 1653-1669 menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653.

I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin.
Masa Kelahiran Dan Remaja
Pada saat kelahiran dan masa kecil I Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum menjadi raja Gowa. Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun Hasanuddin adalah putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan perbuatannya selalu jujur. Dia sangat disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama dan memiliki semangat perjuangan.
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun. Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya yang mengantikan kakek Beliau menjadi raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Mas remaja Hasanuddin diisi dengan kesibukan belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga dengan putra-putra raja Bone yang waktu itu menjadi tawanan kerajaan Gowa.

Pada usia 16 tahun Hasanuddin kerap kali hadir menyertai ayahnya dalam perundingan-perundingan penting. Dalam kesempatan itulah I Mallombasi Sultan Hasanuddin mulai belajar ilmu pemerintahan, diplomasi dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol, Hasanuddin juga banyak mendapat bimbingan dari ayahnya serta mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas. Pergaulan Hasanuddin tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, melayu, b\portugis dan inggris yang pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.

Pada usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan mewakili ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara yang bersahabat, membawa titah persatuan nusantara. Juga terutama pada daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa, Hasanuddin selalu mendapat tugas membawa amanat Raja Gowa yang tak lain adalah ayahnya sendri. Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.

Penobatan Sultan Hasanuddin Menjadi Raja Gowa Ke-16
I Mallombasi bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya. I Mallombasi diangkat menjadi raja karena adanya pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng Pattingaloang juga mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu diberikan karena sifat-sifat Hasanuddin yang tegasa dan berani. Juga kemampuan serta pengetahuan yang luas dan menonjol dari saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa memang memerlukan Raja yang berani serta bijaksana menghadapi perang dengan penjajah Belanda.

I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.

Masa Jaya Kerajaan Gowa
Lama sebelum Sultan Hasanuddin dilahirkan, Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang besar. Pelabuhan Makassar ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Portugis, Ingris dan Belanda. Pada masa Sultan Alauddin memerintah, Kerajaan Gowa telah tumbuh semangat persatuan nusantara dari kerajaan-kerajaan besar. Persahabatan akrab antara Raja Mataram di Pulau Jawa, Sultan Aceh di Sumatra, Sultan Ternate di Maluku, Sultan Banten di Jawa Barat dan lainnya.

Persaingan antara Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda menimbulkan ketegangan-ketegangan keren aketiga bangsa penjajah itu masiing-masing mau memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan perdagangan di Malaka. Kekuatan armada perang Kerajaan Gowa sudah terkenal kemana-mana. Persahabatan dengan Ternate, Bima, Ambon dan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi dan Maluku memberi kewajiban kepada armada perang Kerajaan Gowa untuk melindungi kerajaan itu dari serangan penjajah.

Sultan Muhammad Said ayah dari Sultan Hasanuddin terkenal sebagai seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tua, tahu membalas budi serta tidak mebeda-bedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai orang yang meperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling (Koromandel India), Saudagar di Masulipatan (India). Bersahabat dengan Raja Ingris, Raja Portugal, Raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula meberi gelar "Sultan Muhammad Said" Karena memang nama Arabnya adalah Malikussaid.

Awal Masa Perang
Perang pertama dengan Belanda terjadi pada saat Hasnuddin berumur 3 tahun. Tahun 1631 sampai 1634 armada Gowa dan Ternate saling serang dengan armada Belanda di perairan Maluku. Tahun 1634 Raja Gowa mengirim armada terdiri dari 100 perahu perang ke Ambon membantu rakyat Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon cengkeh dan pala di Maluku.

Raja Gowa berkewajiban melindungi kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu dikenal dengan nama perang Hongi. Setahun sesudah itu belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan memulai menembaki benteng galesong. Untunglah setahun sebelumnya benteng yang terbuat dari tanah itu sudah diubah dan dibuat dari batu, sedangkan perahu dan kapal perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik untuk menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini gagal total.

Keinginan Kompeni Belanda untuk mengusai dan menaklukkan Gowa makin kuat. Berbagai cara dipergunakan. Pada bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Anthony Van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Van Diemen meminta agar Raja Gowa melarang Portugis dan inggris berdagang di Makassar, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan Alauddin. Orang Belanda belum diluaskan untuk tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu Raja Gowa menerima tamu-tamu asing di istananya yang terdapat di dalam benteng Somba Opu.

Benteng Pertahanan
Pengepungan beberapa kali oleh kompeni Belanda terhadap pantai makassar menambah keyakinan bahwa kompeni Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan melaksanakan niatnya untuk merebut dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda memang mau memonopoli perdagangan rempah dari maluku. Sultan Hasanuddin yang waktu itu telah sering menjadi duta dan mengurus pertahanan Kerajaan Gowa dengan dukungan Karaeng Pattingaloang Mangkubumi Kerajaan Gowa mulai memperkuat benteng di sepanjang pantai.

Ada tiga 3 Benteng yang diperkuat dan dipasangi meriam. Benteng Somba Opu yang menjadi pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan, tebalnya 12 kaki. Benteng ini dipasangi meriam besar yang dijuluki "Anak Mangkasara" dan ada lebih 270 meriam-meriam kecil lainnya. Meriam "Anak Mangkasara" ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3 meter dan garis tengah lubang mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).

Selama perang antara Gowa dan Belanda berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan Hasanuddin kemudian membangun lagi benteng Mariso, Anak Gowa dan kale Gowa serta beberapa benteng lagi di daerah Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah kilometer antara Binanga Beru dan Ujung Tanah.

Benteng yang memperkuat Pantai Kota Makassar itu berjajar dari utara keselatan : Tallo (Mangngara' Bombang), Benteng Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong. Antara Tallo dengan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung tanah, antara Benteng Ujungpandang dengan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong terdapat benteng kecil Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja beristirahat.

Benteng Somba Opu, sebagai tempat kediaman Raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di sebelah timurnya yang bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa terdapat benteng Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).

Masa Perang Perlawanan
Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa memeliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-satunya halangan Belanda untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa dan armadanya. Selama lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang. Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut armada Kerajaan Gowa memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati ini karena budaya siri' na pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa dan Aru atau sumpah setia para prajurit Kerajaan Gowa.

Tahun 1645 adalah tahun yang penuh cobaan bagi Sultan Hasanuddin, belum cukup setahun menduduki tahta, Mangkubumi yang berani dan bijaksana I Mangngada' Cinna Karaeng Pattingaloang wafat. Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin, Karaeng Karunrung Putra Karaeng Pattingaloang naik menggantikan ayahnya sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.

Perang dua hari dengan pasukan Belanda pada April 1655 di Buton yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang Belanda terbunuh dalam peperangan ini. Belanda menyadari bahwa perang dengan Sultan Hasanuddin telah menelan biaya yang dan kerugian yang besar, maka diutuslah duta ke somba opu mewakili gubernur jendral belanda di Batavia. Utusan itu bernama Willem Van der beek dan menerima perjanjian tanggal 28 Desember 1655 yang berisi: "Pasukan Makassar yang berada di Maluku di tarik kembali, tukar menukar tawanan perang. Belanda berjanji, bila kerajaan Gowa berperang dengan salah satu bangsa maka kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa".

Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Willem Bastingh karena tidak senang melihat perdagangan antara Hitu, Seram dan Makassar berjalan lancar, karena ingin memonopoli perdagangan. Utusan itu membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Semangatnya semakin membara, setiap benteng diperlengkapi. Kompeni Belanda memilih perang, armada besar dipersiapkan 31 kapal perang dan 2700 tentara terlatih dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu oleh Johan Truytman. Peperangan ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya. Pada tangal 12 Juni 1660 Benteng Panakkukang jatuh ketangan Belanda.

Dengan semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor, dari kedua belah pihak berjatuhan banyak korban yang tewas dan luka.

Setelah itu gencatan senjata dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng Popo dan sejumlah bangsawan kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding. Hasilnya, adalah sebuah perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian itu bernama Perjanjian Batavia yang berisi:
  1. Makassar tidak boleh campur tangan soal Buton, Ternate dan Ambon.
  2. Banda, Buton, Maluku, Manado tidak boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.
  3. Orang Portugis dilarang berdagang di Makassar.
  4. Belanda Boleh Menetap di Makassar.
Sultan Hasanuddin terpaksa menanda tangani perjanjian itu,. Namun, perjanjian ini tidak berlangsung lama.

Belum hilang bekas perang dengan Belanda, Raja Bone melakukan pemberontakan dengan mulai memerangi Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta to Erung Bergelar Arung Palakka, sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin semasa kecil yang memimpin pemberontakan itu. Namun, laskar kerajaan Gowa dapat mematahkan pemberontakan itu pada tanggal 11 Oktober 1660. Arung Palakka bersama 4000 orang pasukannya menyingkir ke Buton dan mendapat perlindungan di sana. karena pada saat itu Sultan Buton telah bersekutu dengan Belanda.

Politik Memecah Belah
Belanda punya cara menaklukkan lawan. Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang terpecah-pecahdiadu satu sama lain. Kedatangan Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh Kompeni Belanda. Kerugian yang diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin cukup banyak dan sudah memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah terbuka, Arung Palakka bisa diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.

Sambutan terhadap Arug Palakka sangat meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk tempat tinggal Arung Palakka bersama pengikutnya. Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya. Persiapan sudah dilakukan. Benteng-bentang sudah diperbaiki. Merian dan alat perang sudah ditambah, prajurit juga ditambah. Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan suatu armada besar, pukulan terakgir untuk Kerajaan Gowa akan segera dilancarkan.

Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa pemberitahuan. Pengawal pantai mencegat dan perangpun terjadi, 16 pucuk merian disita. Pihak Belanda menuntut pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan perang saudara. Tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka dikumpulkan dalam suatu pertemuan di Batavia.

Mereka harus memerangi Sultan Hasanuddin, dan Belanda akan memberi bantuan. Sultan Hasanuddin sudah mengetahui cara Belanda itu, sikap lunak ditunjukkan karen aperang saudara harus dihindari. Sultan Hasanuddin mau berdamai tetapi meminta Belanda agar Bone, Buton dan Seram tidak dianak emaskan. Akan tetapi Belanda sudah berniat untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.

Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus dibebaskan terlebih dahulu, Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah ekspedisi ke timur. 700 buah kapal perang dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat menjadi laksamana muda kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.

Akhir Oktober 1666 Buton berhasil diduduki oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu, akan tetapi Buton dapat dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh Admiral Speelman dan Arung Palakka yang ikut dalam armada itu. Belanda telah berhasil mengadu domba antara kerajaan-kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling menyerang.

Perang Terbuka
Rapat penguasa Kolonial Belanda di Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segara menaklukkan Kerajaan Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin oleh Cornelius Speelman dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manipa dan sekutu-sekutu Belanda. Armada itu berangkat dari Batavia 24 Nopember 1666 dengankekuatan yang besarnya 21 buah kapal perang besar 600 orang tentara Belanda, 400 laskar Arung Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu tiba di depan bentang Somba Opu tanggal 15 Desember 1666.

Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai menjadi tegang. Menunggu saat-saat penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang bermukim disana menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan pasukan di seluruh benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan perang beberapa bulan, sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan rakyat sudah dipersiapkan pula.

Satu-satunya yang dikhawatirkan Sultan Hasanuddin adalah pasukan Bone yang berada di dalam daerah pertahanan Gowa yang sudah memberontak, dan armada perangnya dengan 700 kapal di bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu yang masih berada di Buton.

Saat-saat tegang Speelman mengirim utusan menemui Sultan Hasanuddin, utusan itu membawa tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang terdahulu. Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan. Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada dipihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami."

Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi buta tanggal 21 Desember 1666Bendera merah dikibarkan armada perang Speelman. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan pelurunya, udarapun dipenuhi asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar dan menyala-nyala. Perahu kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda. Dengan dilindungi oleh hujan yang sangat lebat armada semut perahu perang milik Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti armada perang Speelman. Speelman menhgundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan pantai.

Di Laikang pantai sebelah selatan Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung Palakka mencoba mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan semangat pantang menyerah. Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Tanggal 24 Desember 1666, armada Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang, berlayar ke selatan dan mendaratkan pasukannya di Bantaeng esok harinya. Perahu-perahu dagang yang ramai dipantai waktu itu dihantam dan ditenggelamkan. Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, tak luput pula lumbung beras Kerajaan Gowa ikut dibakar.

Laskar kerajaan Gowa menyerbu dan perangpun berkecamuk Perkelahian satu lawan satu terjadi. Korban berjatuhan dikedua belah pihak. Setelah bertempur sehari semalam Speelman mundur dan semua pasukannya ditarik naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan Hasanuddin dengan pasukan Raja-raja Buton, Ternate dan Bone untuk mengurangi kerugian dipihak mereka.

Kabar dari mata-mata Speelman juga memberitahukan bahwa armada inti kerajaan Gowa dibawah pimpinann Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700 kapal perangnnya. Inilah kesempatan menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin.

Tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada Karaeng Bontomarannu yang sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya Karaeng Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 januari 1667. Kemenangan ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda memberikan hadiah 100 ringgit setahun.

Armada Speelman berlayar ke Ternate. Arung Palakka mengirim pasukannnya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk pasukan baru untuk persiapan menyarang Gowa. Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasuka Ternate, Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli setelah sekitar 7000 orang pasukan Gowa menyerang tiba-tiba. Empat hari kemudian armada Belanda berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa. tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal perang Belanda. Benteng Somba Opu sudah dikepung dari laut.

Perang Menentukan
Perang yang menentukan telah tiba. Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pertahanan utam kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Karaeng Bontosunggu memimpin benteng Ujungpandang dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.

Tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari, Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan Belanda, dalam serangan ini persedian beras kerajaan Gowa di Galesong berhasil dibakar Belanda. Hari demi hari perang berkecamuk. Diawal September 1667 Speelman memindahkan perhatiannya. Di daratan 6000 orang pasukan Arung Palakka bersama Kapten Poolman menyerang Galesong dan Barombong. Dengan meriam besar jarak jauh milik pasukan Gowa mengusir armada Speelman. Di darat pasukan Arung Palakka berhasil dipukul mundur.

Keadaan ini membuat Speelman meminta bantuan  dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang besar dibawah komando Kapten P. Dopun. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Speelman dan Dupon mengepung rapat Makassar. Dengan meriam-meriam besar, benteng Barombong dibobol. Pasukan Speelman didaratkan di Galesong dibantu Arung Palakka. Somba Opu dikepung dari laut maupun darat. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton dan Maluku, korban berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda.

Kedua belah pihak sudah sangat kelelahan. Tanggal 5 Nopember 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. 182 serdadu dan 95 matros jatuh sakit. Pasukan Buton, Ternate dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman minta dikirimi lagi perlengkapan dan prajurit. Pasukan Sultan Hasanuddin juga mengalami hal serupa. Pertempuran selama berbulan dan pengepungan benteng sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan Hasanuddin. Setelah 4 hari bertempur, benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat semangat prajurit Gowa masih membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan perang.

Sultan Hasanuddin dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri. Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan bahwa pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera dihentikan.

Meneruskan perang hanya akan menguntungkan Belanda. Perundingan antara Speelman dan Sultan Hasanuddin diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut Belanda. Setalah berkali-kali berunding, maka pada hari Jum'at tanggal 18 November 1667, tercapailah suatu perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai "Cappaya Ri Bungaya" atau perjanjian Bungaya. Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena memberatkan kerajaan Gowa. Benteng Ujungpandang diserahkan kepada Speelman dan diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam". Speelman juga mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang, karena keyakinannya bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.

Perang Terakhir
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak menerima perjanjian Bungaya. Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap. "Hanya Mayat yang bisa menyerah". Karaeng Karunrung mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan Perjanjian Bungaya. Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668. Karaeng Karunrung menyerang benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam). Hari demi hari bulan demi bulan perang terus berkecamuk.

Dalam catatan buku harian Speelman tertulis antara lain: "Pertempuran berlangsung sengit. Banyak orang Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita luka. Setiap hari 7 atau 8 orang serdadu Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang dokter, 15 pandai besi tewas. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam benteng Ford Rotterdam dan 52 orang tewas di kapal".

Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk melakukan perbaikan kembali benteng yang rusak. Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada serangan ini Arung Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan dan peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat dan larasnya diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan ke benteng Somba Opu sudah dibuat, persiapan Belanda sudah matang.

Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman menyerang benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang dan malam. Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru ke benteng Somba Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda dan hujan peluru.

Setelah perang selama selama 10 hari siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Tdak kurang 272 pucuk meriam besar dan kecil termasu meriam keramat "Anak Mangkasara" dirampas Speelman. Sultan Hasanuddin mundur ke benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di Bontoala mundur ke Benteng Anak Gowa.

Benteng Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah, beribu-ribu kilo amunisi meledakkan benteng yang tebalnya 12 kaki ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana. Hangus dibakar ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh Istana Somba Opu dihancurkan.

Sultan Hasanuddin kalah perang, tetapi menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu yang paling lama dari yang pernah dialami Belanda dibumi Nusantara waktu itu. Sultan Hasanuddin dan Pasukannya dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur" karena semangatnya yang pantang mundur.

Turun Tahta Dan Wafat
Setelah kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan Hasanuddin dari benteng Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa terus dilancarkan. Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.

Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara. Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan.

Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.

I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di dada setiap insan bangsa yang mendambakan perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila ini.

Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan namanya menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas Hasanuddin sebagai salah satu universitas terkemuka di INdonesia bagian Timur, mempergunakan namanya dan memakai lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan menjadikan semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan dengan keputusan Presiden RI No. 087/TK?tahun 1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanannya.

*Sumber
  • Buku Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI | Oleh Moh. Alwi | Penerbit Bhakti Baru
  • Sejarah Gowa - Abdurrazak Dg. Patunru | Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara
  • Majalah Bingkisan | Nomor Istimewa Tahun 1 No. 20 Juni 1968 | Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara
  • Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah | Prof. Dr. Mattulada | Bhakti Baru Berita Utama 1982
  • The Heritage Of Arung Palakka | Andaya, Leonard Y | The Hague Martinus NIJHOFF - 1981
  • Mengenal Museum Negeri La Galigo Ujung Pandang SULSEL | Staf Kantor Museum Negeri La Galigo Ujung Pandang - 1985
  • Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Di Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX | Team Pengolah dan Penerbit Kantor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi Ujung Pandang

Sumber http://lobelobenamakassar.blogspot.com/2012/02/riwayat-perjuangan-sultan-hasanuddin.html#ixzz2MAB1gZpO

Jejak dr. Radjiman Wedyodiningrat di Ngawi

Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1879. Ia adalah putra dari seorang penjaga sebuah toko kecil di Yogyakarta bernama Ki Sutodrono dan ibunya adalah seorang wanita berdarah Gorontalo. Meski bukan berasal dari kaum bangsawan, namun semangat belajarnya sangat tinggi. Ia berhasil mengenyam pendidikan hingga ke negeri Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika. Ia berhasil memperoleh gelar dokternya di negeri Belanda pada usia 20 tahun. Sedangkan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) ia peroleh dari Kesultanan Yogyakarta karena jasanya bertugas di sebuah rumah sakit di Yogyakarta pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat juga merupakan tokoh pergerakan nasional, meski kiprahnya tak setenar Ir. Soekarno ataupun Bung Hatta. Ia merupakan salah satu pendiri Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketua di tahun 1914-1915. Ia juga mewakili Boedi Oetomo menjadi anggota dalam Volksraad bentukan Belanda sampai tahun 1931. Memiliki andil besar dalam usaha mencapai kemerdekaan Indonesia dengan menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Saat itu ia pernah menanyakan tentang dasar negara Indonesia jika kelak telah merdeka dan dijawab Bung Karno dengan uraiannya tentang pancasila. Uraian tersebut diyakini pernah ditulis Radjiman Wedyodiningrat dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat mulai pindah ke Ngawi pada tahun 1934. Ia memilih menetap di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi karena keprihatinannya melihat warga Ngawi yang terserang penyakit pes. Sejak saat itu ia mengabdikan dirinya menjadi dokter ahli penyakit pes. Selain itu dr. Radjiman juga pernah memberdayakan dukun bayi di Ngawi untuk mencegah kematian ibu saat melahirkan dan juga bayinya. Ia sangat peduli terhadap kesehatan masyarakat, terutama mereka yang tidak mampu. Ia juga dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Selain menjadi dokter, dr. Radjiman Wedyodiningrat ternyata juga menyalurkan ilmunya kepada mereka yang membutuhkan. Hal itu terbukti dengan sepak terjangnya mengajar anak-anak di Dusun Dirgo yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena tidak adanya biaya. Lokasi tempatnya mengajar saat itu telah dibangun sebuah Sekolah Dasar dan sampai kini masih terdapat jejaknya, yaitu SD Negeri 3, 4, dan 5 Kauman.
Pada tanggal 20 September 1952, Dr. Radjiman Wedyodiningrat menghembuskan napas terakhirnya di Dusun Dirgo, Widodaren, Ngawi. Jenazahnya dimakamkan di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta, berdekatan dengan makam dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang yang telah membesarkannya. Rumah kediaman dr. Radjiman Wedyodiningrat di Ngawi kini sudah menjadi situs yang berusia 134 tahun. Rumah tersebut dulunya juga pernah disinggahi Bung Karno dua kali semasa hidup dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Orasi Perjuangan Bung Tomo pada 10 November 1945

Mengenang Hari Pahlawan, jangan lupakan pidato jihad Bung Tomo ini. Takbir yang hidup, mengusir rasa takut & membangkitkan Nyali Jihad mengusir penjajahan dan imperialisme asing.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang, sebelum mereka dilucuti tentara Sekutu.
Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Berkedok melucuti tentara Jepang, tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas nama Sekutu, dengan membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng.
Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana, sehingga pecahlah insiden Bendera 19 September 1945 di Hotel Yamato atau Hotel Orange (sekarang Hotel Mandarin Oriental Majapahit) Surabaya. Rakyat Surabaya marah dengan adanya bendera merah putih biru milik Belanda berkibar di atas menara hotel. Dan terjadilah aksi perobekan bendera warna biru, hingga menjadi merah dan putih.
Beberapa orang pemuda berhasil mendekati dan memanjat dinding serta puncak menara Hotel, berhasil menurunkan bendera Belanda dan menyobek bagian birunya serta menaikkan kembali bendera Merah-Putih dengan ukuran yang tidak seimbang dengan diiringi takbir dan pekikan “Merdeka!” yang disambut dengan gempita oleh massa yang berkerumun di di depan Hotel Orange.
Tidak gratis, dalam insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Orange tersebut dibayar mahal dengan gugurnya empat pemuda Arek Suroboyo, yaitu: Cak Sidik, Mulyadi, Hariono dan Mulyono. Sedangkan dari pihak Belanda, Mr Ploegman tewas terbunuh oleh amukan massa ditusuk senjata tajam.
Insiden di jalan Tunjungan Surabaya ini menyulut bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan para pejuang di Surabaya, yang memuncak dengan tewasnya Brigadir Jenderal AWS Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945.
Rongsokan mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby yang mengalami ledakan. Ia kemudian ditemukan tewas.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan  meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Para pejuang tak bergeming, ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah. Pidato-pidato heroik Bung Tomo (Soetomo) adalah salah satu biangnya. Melalui stasiun Radio Pemberontak Indonesia di Surabaya, Bung Tomo mengomando dan mengobarkan semangat jihad dan perjuangan rakyat.
Ketika pasukan Sekutu menggunakan radio komunikasi militer mutakhir untuk mengkoordinir prajuritnya, Bung Tomo hanya menggunakan pemancar radio biasa, dengan kode-kode tertentu, seperti “belok kiri” artinya belok kanan, “maju” artinya mundur, dsb., yang hanya dimengerti oleh para pendengar setianya.
Sehari-hari, biasanya, pendengar radio dihibur dengan lagu-lagu perjuangan dan cerita rakyat. Sekonyong-konyong, 9 November 1945 mereka dikejutkan pekik, Takbir dan slogan ”Merdeka Atau Mati” dari Bung Tomo.
Agitator itu, seorang jurnalis yang gigih menyemangati warga Surabaya mengusir Sekutu. 45.000 pejuang kita tersentak bangkit. Waktu itu, Surabaya dipimpin oleh Gubernur Suryo. Bondo nekad, rakyat Surabaya memilih berjuang hingga titik darah penghabisan.
Tentara Sekutu pun menepati ultimatumnya. Pada 10 November 1945 pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom dari udara oleh pasukan Barat, karena mereka menolak menyerahkan senjata. Arek-arek Suroboyo ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Dua kuintal bom dijatuhkan pasukan Sekutu. Drum bensin meledak. Jam 6.10, Surabaya menjadi lautan api.
Tentara Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan.
Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Pemandangan tanggal 30 November 1945, sepanjang mata memandang, bergelimpangan mayat terbujur kaku, hangus, serpihan daging dari 30.000 orang. Para pejuang rela setor nyawa berjibaku mempertahankan kehormatan tanah airnya, Surabaya.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai “Battle of Surabaya” merupakan peristiwa sejarah perang antara Indonesia melawan Sekutu yakni Inggris dan Belanda. Dahsyatnya perjuangan para pahlawan berani mati melawan penjajah inilah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Dan sebagai motivator jihad mengorbankan jiwa raga ini, Bung Tomo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2008.
Inilah transkrip pidato Bung Tomo di radio Pemberontak Surabaya jelang 10 November 1945, yang membangkitkan semangat jihad itu:
“Bismillahirrohmanirrohim. Merdeka!! Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu. Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ini ingin mendengarken jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarken jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini, tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian:
“Hai, tentara Inggris, kau mengendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kamu menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kami rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Untuk itu, sekalipun kita tahu bahwa kau sekalian akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap “Merdeka atau Mati”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!”
Pidato Bung Tomo menjelang 10 November 1945 itulah yang berhasil membangkitkan keberanian arek-arek Suroboyo, dari rasa takut yang mencekam untuk bangkit melawan kezaliman. Sikap para pejuang itu merefleksikan ajaran Al-Qur’an yang mensyariatkan perang melawan musuh yang terlebih dahulu mengobarkan perang.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (Qs. al-Hajj 39).
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Qs. al-Baqarah 190)

Perjuangan Kartini Bagi Wanita Indonesia


Sebagai seorang tokoh nasional yang memperjuangkan hak perempuan di Indonesia, Raden Ajeng Kartini terbukti telah berhasil mewujudkan impiannya untuk menyuarakan emansipasi bagi seluruh perempuan yang ada di Indonesia dan dampaknya dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak anggapan yang menyatakan bahwa Raden Ajeng Kartini bukanlah pahlawan karena beliau tidak terjun langsung menghadapi penjajah di medan perang namun pada jaman itu, beliau adalah satu – satunya perempuan yang berani melawan penjajah yang telah membelenggu perempuan dari kebodohan dan tidak mempunyai kebebasan dalam mendapatkan haknya.

Apa yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ternyata memiliki pengaruh besar yang positif dalam menginspirasi seluruh wanita di Indonesia. Raden Ajeng Kartini merupakan tokoh wanita yang akan selalu menjadi inspirasi sepanjang masa. Perjuangan dan semangat hidupnya tidak akan pernah lekang oleh waktu.

Dan untuk meneruskan perjuangannya, kini bangsa Indonesia memperingati hari kartini setiap tanggal 21 April, yaitu hari dimana Raden Ajeng Kartini dilahirkan. Pada hari Kartini ini, seluruh bangsa Indonesia terutama kaum perempuan memperingatinya dengan berbagai cara, seperti melestarikan kebaya, batik, dan kain tenun sebagai busana yang dapat digunakan sehari – hari. Selain itu, pastinya peringatan hari Kartini juga dimaknai dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh seluruh perempuan di Indonesia, dimana perempuan juga bisa beraktualisasi dan memberikan kontribusi nyata dalam setiap aspek kehidupan.

Perempuan Indonesia kini dapat berbangga diri karena kemampuan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya telah disejajarkan dengan pria. Raden Ajeng Kartini telah membuka mata bangsa Indonesia bahwa perjuangannya untuk mewujudkan emansipasi wanita nyatanya mampu memberikan suatu perubahan, dimana diskriminasi terhadap kinerja perempuan telah dihapuskan dan ini terbukti dengan banyaknya “kartini” di jaman moderen yang telah berhasil memiliki karir yang cemerlang dalam dunia kerja.

sejarah Perjuangan Ki Hajar Dewanta

 Setiap memperingati hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei kita diingatkan pada Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang terkenal karena perjuangan untuk pendidikan kaum pribumi dengan mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta.
Sejarah Perjuangan Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.

MASA MUDA DAN AWAL KARIR

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

AKTIVITAS PERGERAKAN

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

TAMAN SISWA

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

PENGABDIAN DI MASA INDONESIA MERDEKA

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.

Terima kasih telah berkunjung ke blog Kumpulan Sejarah ini.

Friday, February 15, 2013

mohammad hatta dan perjuangannya

Muhammad Hatta

Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Fort de Kock (kini Bukittinggi), Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Namanya pun diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Jakarta yaitu Bandar Udara Soekarno Hatta
Selain diabadikan di Indonesia nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat terpampang di papan nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder yang dibangun pada tahun 1987. Pemberian nama ini ditetapkan oleh pejabat Walikota R.H Claudius dengan alasan bahwa Hatta merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang pernah menimba ilmu di Belanda serta merupakan aktivis Indonesia. Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. "Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat," aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, "Namaku Hindania!" begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. "Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku," rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.

Perangko Satu Abad Bung Hatta diterbitkan oleh PT Pos Indonesia tahun 2002
Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.