ni adalah bulannya Raden Ajeng Kartini.
Seorang pahlawan wanita asal Jepara, Jawa Tengah yang menjadi symbol
emansipasi wanita Indonesia. “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah
karya nyata yang menjadi landasan bagi para wanita Indonesia untuk
muncul ke permukaan bahwa kaum hawa kini dan di masa yang akan datang
memiliki kesempatan sama dengan laki-laki dalam segala bidang, termasuk
pemimpin. Namun, dalam tulisan ini saya tidak membahas tentang RA
Kartini, melainkan sosok perempuan lainnya yang tak kalah bersejarah.
Ibu Fatmawati namanya. Salah satu istri dari Presiden pertama Ir.
Soekarno.
- Foto di atas, adalah koleksi majalah Life. Salah satu foto langka yang sarat makna. (http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/08/fatmawati-pidato-1946.jpg?w=470&h=590)
Sejak saya belajar sejarah di sekolah dasar
hingga SMA, nama Fatmawati selalu menghiasi lukisan perjuangan bangsa
merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Yang paling
terkenal tentu adalah ketika beliau menjahit dengan tangannya sendiri
bendera pusaka Merah Putih yang dikibarkan dalam upacara proklamasi di
pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.
Fatmawati yang bernama asli Fatimah, lahir
di Bengkulu pada tahun 1923 dan meninggal dunia di Jakarta pada tahun
1980 dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
Fatmawati, usianya baru 19 tahun ketika
disunting Bung Karno yang waktu itu 41 tahun. Fatmawati, putri Hasan Din
yang asli Bengkulu, menjadi first lady yang menorehkan
sejarah. Fatmawati, dinikahi Bung Karno pada era pendudukan Jepang dan
mengikuti pasang dan surut perjuangan mencapai kemerdekaan. Dalam masa
awal kemerdekaan, tak jarang Fatmawati yang memiliki penguasaan bagus
dalam hal nilai-nilai keagamaan,didaulat bericara di atas podium. (foto
atas).
- http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/06/bung-karno-fatmawati1.jpg?w=228&h=300
Dalam masa berkabung pasca meninggalnya Bung
Karno, Fatmawati, istri ketiga, yang pergi meninggalkan Istana setelah
Bung Karno menikahi istri lainnya, Hartini. Fatmawati adalah sosok
perempuan yang teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak akan datang ke
Wisma Yaso, tempat persemayaman terakhir Bung Karno di Jakarta seperti
yang dilakukan istri lainnya, Inggit Garnasih (istri kedua). Karenanya,
begitu mengetahui ayah dari lima putra-putrinya telah meninggal, ia
segera memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah suaminya
disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru, meski
sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.
Hati Fatmawati benar-benar galau. Antara
jerit hati ingin melihat wajah suami untuk terakhir kali, dengan
keteguhan prinsip. Bahkan, putra-putrinya pun tidak ada yang bisa
mempengaruhi keputusan Fatmawati untuk tetap tinggal di rumah. Meski,
atas kesepakatan semua pihak, peti jenazah tidak ditutup hingga batas
akhir jam 24.00, dengan harapan, Fatmawati datang pada detik-detik
terakhir. Apa hendak dikata, Fatmawati tak juga tampak muka.
- http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/10/bk-dan-fatmawati-bersepeda.jpg?w=296&h=300
Pengganti kehadiran Fatmawati, adalah sebuah
karangan bunga dari si empunya nama. Dengan kalimat pendek dan puitis,
Fatma menuliskan pesan, “Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta Fat”… Sungguh mendebarkan kalimat itu, bagi siapa pun yang membacanya.
Fatmawati, sosok ibu yang tidak pernah
dibenci anak-anaknya. Dia mungkin tak sehebat dan sepopuler RA Kartini.
Dia juga bukan termasuk pahlawan nasional. Namun, dialah sosok wanita
tegar, wanita yang rela cintanya terbagi, wanita yang telah melahirkan
sosok-sosok wanita super. Dan salah satu anaknya Megawati pernah menjadi
pemimpin negeri ini.
Indonesia bangga memiliki Ibu Fatmawati, permaisuri “Raja” Indonesia bernama Bung Karno.
No comments:
Post a Comment